“Nggak papa. Aku aja belum pernah kesana kok. Nggak seru ah tempatnya.”
Aku mencari-cari sumber suara yang seakan membela dari ejekan teman-teman. Tubuhmu terlihat tinggi walaupun sedang duduk, rambut kakumu tidak lebih panjang dari rambut tentara, mukamu masih terlihat seperti anak SMP dengan mulut yang terlihat jarang membuka.
“Ohya? Padahal kan itu ada di halaman rumahmu.” sambil tersenyum aku mencoba mengenali anak baru itu. Kemudian kamu mulai bercerita banyak tentang kota kelahiranmu dan aku membeberkan seluk beluk daerah asalku.
Semenjak itu aku merasa menjadi sering kita bertemu. Hanya senyum disertai anggukan kecil yang menjadi bahasa kita sebelum menemukan topic perbincangan lain yang seru.
—
Hari itu ketika kepala sedang mendidih kamu datang bagaikan bongkan es yang mampu menetralkan suhu otakku.
“Jalan-jalan yok” katamu dengan mata berbinar.
Lalu kita mulai membuat itinerary. Ada perdebatan panjang mengenai barang yang harus dibeli. Suaramu tetap rendah dan tidak ikut terpancing emosiku yang meledak-ledak. Biasanya kamu berakhir mengalah.
Tapi aku selalu kalah ketika berebut harta privasi. Ah tapi toh pada akhirnya kamu membeberkan sederet perempuan yang pernah mengisi hari-harimu. Sambil senyum-senyum membayangkan sosok yang membuat kamu berbunga-bunga. Tapi di matamu juga tersirat kebencian yang sulit termaafkan.
Terkadang aku mencarimu untuk sekedar duduk memperhatikan kamu sibuk dengan gadget kesayangan. Sesekali kutanyakan seluk beluk mengenai hobimu itu. Komentar-komentar sinis dilontarkan tanpa filter. Imajinasi liarmu yang tidak terkendali jika sudah ada pemantik. Ceritaku yang sering menye-menye. Kebohongan diatas kebodohan. Kita juga membicarakan calon presiden yang prospek, sistem keamanan negara, proyek-proyek yang mengejar deadline. Tentang hidup, tentang nasib masa depan mau lulus kapan.
Obrolan panjang yang sepertinya tidak akan pernah habis hingga kita sering lupa waktu. Sampai orang-orang bilang kita memiliki bahasa tersendiri yang tidak dimengerti orang lain.
Sering aku bertanya-tanya apakah teknologi bisa meneruskan pesan yang sama ketika ada banyak hal yang ingin dibagikan. Apakah teknologi mampu menyampaikan kesan yang sama ketika kita duduk berdua, tertawa, menangis, semangat yang menguatkan, atau sekedar tatapan mata penuh makna hingga peluk hangat tanpa kata-kata.
Jika kelak kita berada di bumi yang berbeda.
—
“Sungguh bicara denganmu tentang segala hal yang bukan tentang kita selalu bisa membuat semua lebih bersahaja.” Payung Teduh – Mari Bercerita.