2 tahun lalu saya memutuskan untuk berhenti main Instagram. Ketika itu sudah lulus kuliah dan menjadi pengangguran. Walaupun ada proyek kecil yang dikerjakan, tapi sebagian besar hari-hari habis untuk main media sosial dan internetan. Baca artikel/liat akun orang, klik link yang ada di dalamnya, baca/liat-liat, scroll-scroll, klik, baca/liat, klik, begitu terus alurnya hingga tiba-tiba sudah malam. Dengan dalih dapat informasi, tanpa disadari kebiasaan ini mulai menggrogoti diri. Seseorang usia produktif sedang mengintip kehidupan orang lain dari layar sekian inch, sementara dirinya hanya stuck tidak kemana-mana.
Alhamdulillah entah kesambet apa, ada yang teriak “GET A LIFE, JAH!” Dari sekian website dan media sosial yang ‘wajib’ dikunjungi, saya mengeliminasi Instagram –galeri ruang pameran yang terkurasi dengan baik. Pada saat itu tidak ada urgensi untuk jalan-jalan nonton pameran, jadi selamat tinggal Instagram.
Akibatnya, saya tidak mengetahui kabar teman-teman.
Eh jah, si doi sekarang di kota X ya? // Wah, nggak tau. Nggak pernah nanyain.
Seriuuss dia udah punya anak?// Kamu kemana aja jaaah, dia sering posting foto anaknyaa
Anu mau nikah, udah tau? Ngado apa ya enaknya?// Iya udah tau jah, aku liat postingannya lagi bridal shower gitu ya.
Dialog-dialog seperti ini adalah hal biasa bagi saya. Fear of missing out? Sempat merasakannya, tapi yowis tetap keukeuh untuk meninggalkan Instagram. Beberapa teman dekat yang juga ingin menempuh jalan serupa tapi ragu-ragu, akhirnya ikut merelakan Instagram.
Solusi dari tau kabar teman? Private chat just to say hi. Agak awkward kalau tidak tahu mau ngobrol apa, at least let them know that we care. Pernah bertegur sapa dengan teman dan mendapatkan jawaban beragam. Ada yang langsung cerita panjang lebar dan ternyata kami dalam fase yang sama, ada juga yang menjawab “rahasia”, “kepo”, “mesti ada maunya deh”. Untung aja tidak ada yang menjawab “liat aja di media sosialku”. Tidak apa-apa, mereka punya privasi yang tidak mau diikut campuri, atau kita bukan orang yang cukup mereka percaya untuk jadi teman cerita.
Selama masa hiatus ini, Instagram ada peningkatan dengan menambah banyak fitur. Di sisi lain, muncul penelitian yang menyatakan bahwa Instagram adalah media sosial yang tidak baik untuk kesehatan mental. Ada banyak artikel yang membahas mengenai bagaimana media sosial bermain-main dengan pikiran kita. Baca ini dan ini
Hubungan sebab-akibat ini tidak berjalan satu arah. Ada banyak faktor yang mempengaruhi, salah satunya siapa yang difollow. Sebagai pengguna pasif yang lebih sering scroll-scroll, tentu follow akun guyonan receh, akun teman, atau akun selebgram memiliki pengaruh yang berbeda-beda. Sebagai pengguna yang membagikan foto/video, komentar, perlu juga punya second thought sebelum klik tombol post. Dengan media sosial, semua orang punya kekuatan untuk mempengaruhi hidup orang lain, tergantung dari bagaimana mengemas suatu postingan. Selain itu,

Dengar-dengar, ada banyak yang sudah mulai meninggalkan Instagram, entah karena kepedulian terhadap kesehatan mental, sudah bosan, atau perubahan algoritma yang bikin nggak asik. Tapi justru saya mau kembali bermain Instagram. Berkat tweet dari pasangan suami istri Mamin Ditut dan Papin Pinot yang menyarankan untuk terus berkarya dan menjadikan media sosial sebagai platform untuk membagikan portofolio, mendapat feedback, melatih rasa percaya diri. Jadi, kenapa enggak?
Lalu heboh kasus Cambridge Analityca yang mengaktifkan kembali ketakutan saya terhadap penggunaan media sosial. Facebook sih, tapi sepertinya jejak digital dimanapun platform/website yang kita akses memang untuk diperjualbelikan untuk iklan maupun artikel/video/akun yang berada di kolom suggestion. Sudah cukup data-data kita diketahui –kalau bukan diambil oleh mereka. Tidak perlu nambah-nambahin dengan sadar membagikan kehidupan pribadi untuk diketahui orang banyak. Yaa dipilih-pilih lah.
Ouw, ini tulisan makin random dan makin panjang jadi disudahi saja.
Tidak perlu bertengkar “Suka-suka gue mau posting apa. Nggak suka ya tinggal unfollow aja” atau “hidup mevvah hanya buat pamer di instagram, mending twitter isinya rakyat kismin” atau nyinyiran netizen yang makin lama kok makin pedes sensi senggol bacok yaaa hmm gemash.
Then my inner voice said,”Ngapain Ijah, kamu ngurusin orang yang nggak peduli sama kamu, yang nggak kenal kamu, yang nggak kamu kenal, yang ada atau tidaknya kamu nggak ngaruh apa-apa bagi mereka? Udah, ngaji sana!”
Apapun punya sisi baik dan sisi jelek, tinggal resiko mana yang diambil. Lagipula, kita tidak bisa mengontrol orang lain untuk posting apa, pun kita juga sulit menggiring netizen untuk memiliki suara yang sama. Menggunakan media sosial perlu bijak dalam membagikan dan melihat konten. Kalau hatinya bakoh dan kuat, nggak bakal keseret dan terjebak sama yang aneh-aneh kok. Lagipula, kehidupan dunia nyata jauh lebih penting daripada kehidupan dunia maya.
Selamat berkarya!